Selasa, 03 Juli 2007

Karyawan Masjid


Oleh RUSLI H FADLI

KEBETULAN penulis tinggal di dekat salah satu kompleks masjid di Bandung. Dalam kompleks tersebut selain tersedia aula, pertokoan, perkantoran, juga terdapat sarana pendidikan untuk anak-anak. Kita biasa menyebutnya taman kanak-kanak (TK).

Sebagaimana umumnya TK, keseharian di lembaga pendidikan itu pun ramai dipenuhi jeritan, canda, tawa, terkadang tangis dari anak-anak peserta didik. Walau secara kuantitas jumlah peserta didik dalam lembaga ini masih tergolong kecil, tetapi kehangatan akan kehadiran anak-anak itu sangat dirasakan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.

Sebagai orang yang tak asing dengan anak-anak tersebut, karena penulis tinggal bersebelahan dengan ruang belajar mereka, anak-anak tak canggung berbicara, bercerita tentang segala hal kepada penulis, bahkan tak jarang mereka memanggil penulis dengan sapaan "Bapak Guru".

Dalam satu percakapan, penulis melontarkan pertanyaan kepada salah seorang anak, "hai nak, siapa orang yang paling baik di sini?" dalam hati penulis menebak, sepertinya orang yang akan disebut oleh anak itu adalah gurunya. Karena, sering kita dapatkan bagi anak-anak yang berusia 4-5 tahun, guru lebih di utamakan dari yang lainnya, termasuk orang tuanya sendiri. Penulis tersentak, ternyata nama yang disebutkan oleh si anak jauh dari perkiraan penulis. Sang anak malah menyebut nama seorang karyawan (cleaning service) di lingkungan masjid tersebut. Sebut saja nama orang tersebut si "Pulan", yang baru saja lewat dengan membawa meja tambahan bagi kelas si anak.

Dalam ketertegunan itu, penulis lalu teringat ucapan bijak dari orang tua penulis dahulu bahwa anak kecil tak pandai menyembunyikan sesuatu, ia biasa berkata jujur, tulus, apa adanya. Kemudian muncullah kekhawatiran dalam diri penulis, jangan-jangan apa yang dikatakan sang anak tadi merupakan petunjuk yang datang dari Yang Maha Bijaksana melalui lisan si anak?

Bukankah dalam studi keagamaan (Islam), selain kita mengenal ayat-ayat qowliyah kita juga mengenal ayat-ayat kauniyah? Yaitu petunjuk tentang kearifan dan kebenaran yang diajarkan alam beserta isinya kepada manusia. Jumlahnya tidak terbatas seperti ayat dalam kategori pertama (qowliyah).

Dalam belitan pertanyaan yang belum terjawab, penulis mulai penasaran untuk mengamati perilaku yang dilakukan oleh si Pulan. Dalam tataran aktivitas ibadah, tidak ada sesuatu yang istimewa yang dilakukan olehnya. Kelebihannya, mungkin hanya sesekali mengumandangkan azan ketika masuk waktu salat. Selebihnya tidak ada. Dalam aktivitas sosial, langkahnya agak terbatas oleh pekerjaannya sebagai karyawan masjid. Mungkin untuk aktivitas ini, penulis menilai diri penulis sendiri lebih baik dari dirinya, karena menjadi salah satu pengurus salah satu organisasi kemasyarakatan. Lalu di mana kelebihan si Pulan tadi?

Akhirnya, pertanyaan yang selama ini terus membayangi terungkap juga. Suatu waktu menjelang subuh, penulis tak sengaja pergi ke dapur masjid untuk mengambil air. Tak disangka ternyata si Pulan telah terjaga dan telah melakukan aktivitas di sana. Membersihkan lantai, memasak air panas untuk jemaah masjid, membersihkan peralatan minum, dan lain sebagainya telah dilakukannya di pagi yang buta itu. Inilah mungkin jawaban dari misteri si Pulan yang disebutkan oleh sang anak di atas, yang belum tentu si anak mengetahui aktivitas si Pulan itu.

Sebagai karyawan di salah satu institusi keagamaan, tentu aturan kerja yang diterapkan berbeda dengan kebanyakan karyawan di lingkungan perusahaan umumnya. Si pulan tidak mendapatkan bayaran sebesar yang diterima karyawan biasa. Ini sangatlah wajar, mengingat pendapatan masjid tidak diorientasikan kepada gaji karyawan. Akan tetapi, ada nilai yang selama ini ditunjukkan oleh si Pulan, yaitu etos kerja dengan penuh tanggung jawab, (dalam bahasa Alquran dikenal dengan amanah) dan pengorbanan hak pribadi demi hak orang banyak (ikhlas).

Siapa pun dan apa pun profesi yang digeluti oleh seseorang ketika dua semangat tadi ada dalam diri seseorang, maka ia akan menampilkan karya terbaiknya di setiap aktivitas. Dibayar ataupun tanpa dibayar, diperhatikan orang ataupun tidak, dipinta ataupun tidak, amanah dan keikhlasan merupakan bingkai indah dari setiap amal seseorang (Muslim).

Diceritakan dalam satu riwayat, ketika hendak menghadapi perang Uhud, Nabi Muhammad terlihat sedih dan murung. Salah seorang sahabat bertanya, "ya Rasulullah, kenapa baginda bersedih, apa yang baginda khawatirkan, padahal jumlah bala tentara kita jauh lebih besar dari pada saat kita menghadapi perang Badar? Rasulullah menjawab, "memang saat ini jumlah tentara Muslim lebih banyak, tetapi yang betul-betul ikhlas berjuang di jalan Allah sangat sedikit aku temukan".

Agaknya tak berlebihan ketika kita mengatakan bahwa apa yang dilakukan si Pulan di atas, lebih utama daripada tokoh-tokoh agama yang lebih banyak menghabiskan pikirannya untuk memproduksi "tafsir justifikasi" bagi kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada kepentingan umat. Seruan "kesabaran" dan "ketabahan" terhadap lilitan kemiskinan yang diucapkan para ulama, walau dibalut dengan teks-teks agama, agaknya tidak lebih utama daripada percikan air yang dituangkan si Pulan dengan ikhlas dalam membersihkan lantai masjid, menyajikan air hangat kepada jemaah subuh, dan bentuk pembelaan lainnya terhadap agama ini.

Semoga perumpamaan Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 265 tentang perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah seperti kebun yang terletak didataran tinggi kemudian disiram dengan hujan yang lebat, maka kebun itu menghasilkan buah yang lebat, menjadi milik si Pulan akibat keihlasannya dalam menjaga agama ini. Amin. Wallahu 'alam bishowab.

Penulis, Ketua Umum DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Jawa Barat

(Sumber H.U. Pikiran Rakyat, Jumat, 29 Juni 2007).

Memompa Daya Hidup

Oleh SUKRON ABDILAH
Angka kemiskinan terus merangkak naik jumlahnya. Bencana transfortasi pada tahun 2007 menampakkan gejala yang teramat mengkhawatirkan. Masalah klasik seperti kemiskinan pun terus menggerayangi bangsa yang sempat dilukiskan M.A.W. Brouwer sebagai home sweethome ini. Tak heran jika ada sebagian orang yang menganggap bahwa Indonesia adalah negeri petaka-bencana.
Lantas, masihkah bangsa kita memiliki daya hidup? Yakni sebuah daya dorong untuk bangkit dari pelbagai keterpurukan dan mampu mawas diri atas segala sikap dan tindakan. Ya, betul. Dengan daya hidup (biofilia) yang tertancap kuat di dalam diri kita, sebetulnya setiap kejadian akan menjadi perantara mengubah hidup. Kita akan terus merenungi dan berusaha menjabarkan hasil permenungan tersebut hingga mewujud dalam bentuk tindakan konstruktif.
Doa dan usaha
Tatkala hidup bangsa kita dihujani kecentangperenangan aneka bencana, hal itu akan dijadikan sebagai pecutan untuk bersama-sama menyelamatkan diri. Bukan sendiri-sendiri menyelamatkan diri sendiri. Menanggulanginya juga tidak hanya sebatas berdoa di tempat ibadah saja. Berusaha pun pada posisi demikian mutlak dilakukan. Sebab, tanpa ada usaha sungguh-sungguh, nasib kita tidak akan pernah beranjak satu jengkal pun. Diam, statis, stagnan, dan tak berubah ke arah terbaik walau hanya sedikit saja.
Doa dan usaha adalah dua entitas yang tak terpisahkan, tatkala kita hendak keluar dari jerat-jerat bencana alam dan kemanusiaan. Seorang bayi mungil umpamanya. Tentu saja tidak mungkin bisa berjalan tanpa berusaha menjejakkan kakinya di tanah. Belajar berjalan meskipun harus terus terjatuh, seorang anak pantang menyerah. Ia terus berusaha menggerakkan kedua kakinya.
Kalaupun ia terjatuh, seorang ibu di tatar Sunda akan mengucapkan “jampe-jampe harupat geura gede geura lumpat”. Kurang lebih artinya cepat besar kalau ingin bisa berlari. Maka, anak itu akan meredakan tangisannya dan kembali memulai aktivitas berjalan yang sempat terganggu. Alhasil, setelah satu tahun lebih belajar berjalan tanpa bosan-bosan; kini ia pun sudah mulai bisa berlari-lari kecil. Itulah hasil akhir yang menggembirakan dari aktivitas berdoa dan berusaha.
Meskipun bangsa ini harus terus dihantui teror bencana alam (natural disasters) dan bencana kemanusiaan (seperti kemiskinan), tidak menjadi alasan untuk meredupkan daya hidup. Sebab, tanpa usaha pendakian yang melelahkan kita tidak akan pernah sampai ke puncak gunung. Begitu juga dengan nasib bangsa kita. Tanpa melakukan doa dan usaha, tak akan pernah bersemangat untuk bangun kembali dari keterpurukan akibat bencana alam dan bencana kemanusiaan.
Ud’uni astajib lakum, berdoalah kepada-Ku niscaya akan diijabah, juga mengindikasikan bahwa setiap permohonan kita kepada Allah akan terkabul. Itu juga jika ada usa ha sungguh-sungguh dari kita. Sebab, bangsa yang karut-marut dengan ragam persoalan ini tidak dapat menggeliatkan diri hanya dengan menengadahkan tangan. Butuh keselarasan antara doa dan usa ha. Itulah intisari dari daya hidup.
Bukan akibat kemalasan
Kemiskinan (satu-satunya masalah paling akut) bukan diakibatkan bangsa kita malas. Buktinya, kita bisa melihat kiri-kanan. Banyak betul warga yang banting-tulang hanya untuk mencari nafkah hidup. Di kampung saya, umpamanya, masih ada warga yang setiap pagi hari pergi ke sawah. Di kota besar juga masih ada warga yang berprofesi sebagai tukang ojek, pedagang kaki lima , tukang becak, supir angkot, dan sebagainya.
Bukankah mereka juga sebagian dari warga masyarakat yang berdaya hidup? Lantas, kenapa kita harus mengklaim bahwa kesengsaraan merupakan imbas dari kemalasannya? Saya rasa, pola pikir naïf seperti ini mesti diluluhlantakkan. Perasangka penuh kecurigaan semacam ini tak layak terus disandang. Kita tidak berdaya hidup kiranya jika dijibuni prasangka yang tidak dapat menyelesaikan masalah. Malah memperumit dan akan memecah belah persatuan.
Dalam konteks ini kita memerlukan kehadiran pejuang sosial. Seorang manusia yang mampu menghapus penjajahan dan perbudakan yang dilakukan bangsa sendiri yang mengeluarkan kebijakan tidak pro-rakyat. Inilah yang mengakibatkan bertebarannya kemiskinan. Ada semacam penindasan struktural di negeri ini. Tak heran Pramoedya Ananta Toer sempat menulis dalam bukunya bertajuk: Jalan Raya Pos, Jalan Daendels diterbitkan oleh Lentera Dipantara sbb: “ Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain”. terbitan
Berita yang dimuat harian Kompas (12/03/2007) juga, di mana seorang ibu dan 4 anaknya tewas minum racun potasium akibat tak kuat menanggung beban persoalan ekonomi, bukti nyata dari penindasan struktural. Kasus bunuh diri ini mengindikasikan bahwa masyarakat kita telah menanggalkan solidaritas sosial dan bukti dari ketidakpedulian pemerintah terhadap rakyat miskin. Kasus ini juga bukan diakibatkan mereka malas bekerja. Akan tetapi kondisi perkeonomian yang mengakibatkannya tidak dapat memoma daya hidup.
Eksistensi pejuang sosial pada posisi demikian mesti digusur pada mampunya mengentaskan keberbagaian persoalan yang melilit rakyat hingga dapat membebaskan dari pelbagai kungkungan yang membuat kita nyinyir. Apalagi jika kondisi ekonomi kian degradatif, birokrasi yang dijibuni perilaku korup, dan bencana banyak diderita warga pelosok. Dapat dipastikan jika pejuang sosial sangat mutlak keberadaannya.
Last but not least, memompa daya hidup agar dapat keluar dari aneka ragam persoalan yang memilukan ialah keniscayaan yang tak pernah nisbi. Ingatkah kita dengan firman Tuhan: “Innamaal-usri yusro”, dibalik kesulitan terhampar berjuta kemudahan? Wallahua’lam
SUKRON ABDILAH
Peminat Masalah Budaya dan Keagamaan,
Pegiat Tepas Institute Bandung.